Selasa, 23 September 2014

PROLOG
Tanah tak kunjung mengering. Bukan. Bukan karenanya gemercik tetesan yang dilimpahkan dari langit. Melainkan dari mata mungil seorang bocah. Sang bunda hanya bisa memeluknya penuh rona bersama sang kakak. Pun dengan menahan duka. Tertambat didepannya nisan yang seolah berkata dalam sunyi. Yang seolah berisak dalam hampa. Benar. Dihadapannya ialah makam sang ayahanda yang baru saja dikebumikan. Masih teringat jelas oleh mereka semua, tentang bagaimana keceriaan yang pernah ada, serta guratan tawa yang pernah diukir bersama. 
Tak lama, deru mesin mobil keluarga pun sudah terdengar. Pertanda mereka akan perlahan melangkah pergi meninggalkan makam itu. Sebelum beranjak, bocah kecil itupun kembali menoleh dengan diiringi lambaian tangan gontahnya sambil terucap dibibir nya, "Selamat tinggal ayah, aku akan merindumu". 
Selama perjalanan kembali kerumah pun, sang bunda tetap mencoba mencairkan suasana dengan raut ceria walau duka tertahan. 
"Kakak sama adik mau makan apa? Daritadi pagi belum makan kan hayooo" ucap halus sang bunda.
"Aku ngga mau makan bundaa" jawab si sulung.
"Aku juga" cercah sang adik.
Bundanya pun mengerti bahwa mereka masih sangat terpukul atas kepergian ayahnnya. Kembali. Pelukan hangat sang bunda menenangkan batin mereka yang remuk padam.
Tapi dalam hati dua bocah lucu itupun tercurah jelas. Mereka bertekad akan menjaga sang bunda dengan sepenuh hati. Meskipun baru duduk dibangku sekolah dasar tahap awal, mereka telah mengerti apa arti kehilangan, dan semua itu mau-tidak mau, suka-tidak suka, harus mereka telan bulat bulat. 
"Jangan sedih dong jagoan jagoannya bunda" ucap kembali sang bunda.
"Iya bunda, kita akan jaga bunda sama sama, biarin ayah tenang disana" ucap Prada, sang kakak, dengan tegar dan polosnya."
"Iya kan, dek?" tanya sang kakak.
"Iya, kak, bunda." jawab gontai si bungsu.
Walaupun Prada sang kakak, mengidap keterbelakangan, tetapi dia tahu dan faham betul posisinya sebagai kakak harus tetap ia jalani, dan sebab itulah Prada tampak lebih tegar dari Fandy, sang adik. Bukan. Bukan karena tak mengerti dan merasakan arti kehilangan, tetapi karena ia tahu situasi sedang dalam duka dan luka yang beriringan. Mungkin sudah kodrat alam. Atau rahasia kalam. Yang jelas, tak ada yang lebih penting dari kebangkitan demi batin yang harus mulai digubah dengan kecerahan impian.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna Veniam, quis nostrud exerci tation ullamcorper suscipit lobortis nisl ut aliquip ex ea commodo consequat.

0 komentar:

Posting Komentar

Further Contact