Organisasi Masyarakat Sipil Bawa Kasus Mifee ke Sidang HAM PBB
Organisasi Masyarakat
Sipil Bawa Kasus Mifee ke Sidang HAM PBB
July 10, 2015 Sapariah Saturi dan Agapitus Batbual -
papua.tribunnews.com
Salah satu palang ditancapkan di
Kampung Wambi di Wambi, Merauke, menolak masuknya perusahaan yang bakal
mengancam kehidupan mereka.
Indonesia Focal Point untuk
Treaty Binding dalam Bisnis dan HAM mengusung beberapa kasus kejahatan
korporasi ke PBB, salah satu yang terjadi di Merauke Integrated Food and Energy
Estate (Mifee).
Mereka yang terdiri dari gabungan
organisasi masyarakat sipil dari Indonesia ini membawa kasus-kasus itu pada
sidang sesi pertama Kelompok Kerja bisnis dan HAM PBB, guna mendorong treaty
untuk mengontrol aktivitas perusahaan transnasional. Sidang berlangsung
6-10 Juli 2015 di PBB, Jenewa.
Sidang Kelompok Kerja Bisnis
& HAM PBB ini merupakan amanat Resolusi PBB No.26/9 yang meminta Dewan HAM
PBB (United Nations Commission on Human Rights/UNCHR) membentuk
kelompok kerja untuk merumuskan treaty binding dalam Bisnis & HAM guna
mengontrol aktivitas perusahaan transnasional yang dianggap melanggar HAM tanpa
mekanisme remedi efektif.
Wensislaus Fatubun, salah satu
perwakilan masyarakat sipil Indonesia dari Papua, dalam rilis kepada media
mengatakan, apa yang terjadi di Mifee harus menjadi tanggung jawab pemerintah.
“Pemerintah Indonesia, harus melindungi HAM masyarakat adat Papua yang telah
menjadi korban proyek food estate oleh korporasi,” katanya awal pekan
ini.
Kala Mifee berjalan, banyak
kasus pelanggaran HAM melibatkan korporasi transnasional, seperti penggusuran,
pembongkaran tempat penting masyarakat adat, penyiksaan dan kekerasan,
pencemaran lingkungan, sampai diskriminasi tenaga kerja.
Penangkapan dan intimidasi
aparat keamanan terus terjadi. “Bahkan terjadi peningkatan penangkapan dan
intimidasi aparat sejak April-Juli 2015, sedikitnya mencapai 531 orang,”
katanya.
Kasus busung lapar juga terjadi
di daerah yang berlimpah kekayaan alam ini. Setidaknya, dalam 2014, enam anak
meninggal karena busung lapar di Papua.
Program Mifee, katanya, hanya
agenda korporasi untuk memperluas bisnis sektor pangan dan energi skala besar.
Dengan alasan pembangunan ekonomi, pemerintah, membuat kebijakan mendukung dan
memfasilitasi bisnis korporasi hingga terjadi perampasan lahan masyarakat adat.
Irhash Ahmady, aktivis Walhi
anggota Friend of the Earth Internasional mengatakan, pembahasan resolusi ini
harus mendorong negara menjadi garda untuk mendesak pertanggungjawaban
perusahaan transnasional yang selama ini memberikan dampak buruk. “Mereka
menurunkan kualitas hidup rakyat, mencemari lingkungan, dan mengarah kepada
genosida.”
Menurut dia,
perumusan treaty binding on business and human rights ini harus mampu
mendorong dan memperkuat regulasi yang ada. “Yakni, negara harus bertanggung
jawab dan terus melindungi HAM, terutama dari bisnis ekstraktif yang makin
memperburuk kualitas hidup manusia Indonesia dan ketiadaan keberlanjutan
lingkungan,” kata Irhash.
Rachmi Hertanti, Koordinator
Indonesia Focal Point mengatakan, Resolusi 26/9 muncul karena kekecewaan penegakan
perlindungan HAM yang lemah. Sebab, penerapan prinsip-prinsip bisnis dan HAM
hanya sukarela hingga tak memberikan kepastian hukum dan sanksi tegas bagi
pelanggar. Ia juga tak memuat mekanisme remedi efektif bagi masyarakat korban.
“Resolusi ini sudah sangat tepat. Kita butuh instrumen hukum mengikat untuk
memastikan negara menjalankan kewajiban dalam menegakan perlindungan HAM di
Indonesia.”
Selama ini, katanya,
negara malah turut memperlemah perlindungan HAM di Indonesia melalui penyusunan
peraturan perundang-undangan yang banyak melindungi kepentingan investor
ketimbang masyarakat. Terlebih, penandatanganan free trade agreement dan bilateral
investment treaty, makin masif. “Peran negara menyusun peraturan
perundang-undangan yang melindungi HAM menjadi hilang.”
Agenda pembangunan ekonomi
Indonesia, kata Rachmi, dinilai belum mempertimbangkan kepentingan masyarakat
bahkan tidak mempedulikan perlindungan HAM. Dia mencontohkan. proyek Mifee era
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kembali dibangkitkan oleh Presiden Joko
Widodo. Ia hanya contoh dari proyek serupa di daerah lain seperti Kalimantan.
Resolusi 26/9 ini didorong oleh
Ekuador dan didukung paling tidak 20 negara, termasuk Indonesia. Ke-20 negara
itu yakni, Algeria, Benin, Burkina Faso, China, Congo, Cote d’Ivoire, Namibia,
Ethiopia, India, Indonesia, Kazakhstan, Kenya, Morocco, Pakistan, Filipina,
Rusia, Afrika Selatan, Venezuela, Vietnam.
Sedang 14 negara menolak seperti
Austria, Chech Republic, Estonia, Prancis, Jerman, Irlandia, Italia, Jepang,
Montenegro, Korea Selatan, Romania, Macedonia, Inggris, dan Amerika Serikat.
Sedangkan 13 negara abstain, yakni Argentina, Botswana, Brazil, Chili,
Costa Rica, Gabon, Kuwait, Maldives, Mexico, Peru, Saudi Arabia, Sierra Leone,
United Emirates.
Mifee sesi II
Di Merauke, sejak proyek Mifee
sesi pertama, masyarakat adat banyak protes. Salah satu, penolakan terhadap PT
Astra Astra dan PT Mayora. Areal mereka mencakup beberapa lokasi seperti
Distrik Okaba, Tubang, Iwayab, Ngguti, di Kabupaten Merauke. Sebagian lahan
dipertahankan masyarakat pemilik ulayat hanya sebagian dilepaskan. Akhirnya, dua perusahaan hengkang. Namun, warga kembali gusar dengan
rencana Mifee sesi dua.
Leonardus Deonggat Moywend
Gebze, Ketua Forum Intelektual Ssumawoma mengatakan, beberapa tahun lalu hutan
telah berubah menjadi perkebunan sawit dan tebu di wilayah Malind Makleuw. Sub
Suku Makleuw ini, berada di bagian barat Kota Merauke, nenyusuri Kali Bulaka
hingga Pulau Kimaam. Wilayah mereka, dalam rencana masuk peta konsesi
perusahaan Mifee.
“Dua perusahaan ini masuk tanpa
berkonsultasi dengan masyarakat adat. Warga menolak. Tak ada kesepakatan antara
perusahaan dan pemilik ulayat,” katanya.
Akhirnya, perusahaan memilih
mundur. Perusahaan menarik segala alat berat dari wilayah ini. Namun,
ketenangan warga terusik lagi. Dia mendengar perusahaan akan beroperasi
lagi.
Leo bercerita, dulu, perusahaan
pernah meminta lahan percontohan dan kebun bibit seluas 50 hektar tetapi
ditolak warga karena belum ada kesepakatan dengan para pemilik ulayat. “Mereka
masih dendam satu sama lain karena ini. Warga pro dan kontra. Ada prasangka
buruk tentang perusahaan sudah pasti.”
Dia sempat mendengar ada
perusahaan, sampai ganti nama agar bisa masuk tetapi tetap ditolak warga. “Kami
komitmen menjaga amanat tetua adat Sub Suku Malind Makleuw. Tugas forum ini
memberikan sosialisasi dampak negatif dan positif tentang perusahaan apapun.
Kata Ssumawoma dalam bahasa setempat berarti berbicara tentang hak batas-batas
hak ulayat dengan jelas. Jadi jika marga jelas, batas jelas, terserah dia mau
jual atau kontrak besaran rupiah itu hak mereka. Tetapi harus ada kesepakatan
dengan warga,” kata pria yang juga Kepala Kampung Bibikem ini.
Dia mengatakan, pernah didatangi
oknum aparat yang hendak menangkapnya. “Saya yang punya tanah kok bisa
ditangkap (karena menolak perusahaan)? Yang benar saja.” Dengan tegas dia
meminta aparat bertemu Forum Ssomawoma. Kala itu, hadir Wakil Ketua LMA
Malind Kabupaten Merauke membantu menengahi.
Dia mengatakan, penolakan ini
bukan berarti orang Malind Makluw anti pembangunan. “Harus ada kesepakatan di
meja adat jika perusahaan mau masuk. Perusahaan dalam negeri atau luar negeri,
sebelum sosialisasi harus duduk bersama mengambil keputusan yang tepat.”
Leo mengingatkan, perusahaan
manapun harus menghormati pemilik ulayat marga, kampung dan lain-lain.
“Pemerintah seharusnya membela kami. Jangan memihak perusahaan sebab kami
adalah korban. Jangan kalian cuci tangan dan perusahaan terima bersih.”
Jika ini terulang, perusahaan
masuk tanpa ada kesepakatan dengan warga, akan menciptakan masalah baru. Mifee,
katanya, telah memusnahkan pohon, bedeng nenek moyang, kuburan leluhur,
hutan sagu, mata air, tempat keramat, dan perjalanan lehuhur pasti habis
digusur.
“Pemerintah, selalu menggandeng
aparat, hingga tak kritis melihat ini. Investor datang membawa hal positif dan
negatif. Perusahaan enak tetapi masyarakat asli tidak punya apa-apa. Kami pasti
dilukai sepanjang masa,” kata Leo.
Simon Kalambu Balagaize, anggota
forum menuturkan, kehadiran puluhan investor dalam naungan Mifee sudah
mencaplok hutan masyarakat. “Sudah dipastikan dampak lingkungan sangat besar.
Hutan hilang, lumbung pangan juga hilang, rawa-rawa besar pasti hilang
meninggalkan kenangan. Saat sekarang, mulai terasa. Misal, di Korindo Group
mengalirkan limbah ke Kali Bian. Jika musim hujan tiba, ikan keloso berkurang,
sebelumnya berlimpah.“
Perusahaan-perusahaan ini,
katanya, masuk hanya lewat pemerintah. Mereka datang uji kalayakan ke Bappeda.
Jika lolos, mereka mendatangi masyarakat di perkampungan dengan berbagai macam
bujukan, misal memberikan fasilitas kepada orang tertentu seperti kepala
kampung atau orang yang berpengaruh agar warga setuju. “Cara ini sangat tidak
bagus.”
Warga yang memiliki pengetahuan
terbatas menerima bujuk rayu perusahaan ini. “Mereka gunakan kaki tangan untuk
provokasi warga tetapi sebagian warga menolak,” kata Simon.
0 komentar:
Posting Komentar